Melestarikan nilai-nilai Minangkabau lewat pendidikan

muatan lokal Keminangkabauan tersebut merupakan upaya pemerintah daerah untuk terus melestarikan dan menghidupkan kembali nilai-nilai Minangkabau kepada generasi penerus bangsa.

Padang (ANTARA) – Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Tanah Air yang terletak di Pulau Sumatera. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, jumlah penduduk provinsi ini tercatat 5.640.629 jiwa, terdiri atas laki-laki 2.841.802 orang dan 2.798.827 perempuan.

Provinsi yang terletak di pesisir pantai barat tersebut pada umumnya dihuni oleh etnis Minangkabau. Selain orang Minang, Sumbar juga dihuni Suku Batak, Jawa, Nias, hingga etnis Tionghoa.

Sebagai penduduk mayoritas, Suku Minangkabau memiliki beragam adat dan budaya. Masyarakat yang dikenal memiliki filosofi Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Jika disederhanakan, falsafah orang Minang ini memiliki makna menjadikan agama Islam sebagai landasan utama dalam tata kelola kehidupan sehari-hari.

Sayangnya, kemajuan zaman dan teknologi serta masuknya pengaruh budaya luar tak selalu mampu diantisipasi masyarakat Minangkabau yang selama ini dikenal memegang teguh falsafah nenek moyang mereka. Imbasnya, nilai-nilai yang selama ini hidup di tengah masyarakat semakin tergerus oleh perkembangan zaman.

Sebagai contoh budaya atau tradisi "ka surau" (pergi ke mushala) yang dahulunya merupakan kebiasaan sehari-hari yang dilakukan oleh anak-anak Minangkabau. Di surau, anak-anak pergi menimba ilmu agama dan pengetahuan tentang adat. Kini, tradisi tersebut tampaknya cukup sukar ditemui di Ranah Minang.

Contoh lainnya yaitu pembelajaran petatah-petitih Minangkabau. Belajar petatah dan petitih merupakan sebuah tradisi yang secara turun- temurun diajarkan tokoh adat kepada anak dan kemenakan mereka. Pendidikan informal ini mengajarkan tentang bahasa kiasan yang umumnya diucapkan saat upacara adat atau hari baik lainnya.

Dulu, sebelum generasi saat ini mengenai Mobile Legends, Free Fire, dan game online lainnya melalui telepon pintar, anak-anak Minangkabau hanya mengenal istilah ka surau, belajar silek (silat) dan berbagai permainan tradisional lainnya.

Kini, di tengah kemajuan zaman dan pesatnya arus informasi lewat beragam platform media sosial, itu seolah menjadikan anak Minangkabau lupa dengan asal-usul nenek moyang mereka. Generasi terkini bahkan banyak yang tidak tahu tentang marandai, kisah cinta Siti Nurbaya yang melegenda dan nilai-nilai kebudayaan lainnya.

Berangkat dari degradasi kebudayaan itu, Pemerintah Kota Padang melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan berinisiatif menghidupkan kembali nilai-nilai Minangkabau yang selama ini mulai terlupakan masyarakat khusus generasi muda.

Keminangkabauan

Lewat pencanangan mata pelajaran Keminangkabauan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang kembali menghidupkan pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM) yang diselipkan pada kurikulum pembelajaran.

Wali Kota Padang Hendri Septa menjelaskan muatan lokal Keminangkabauan tersebut merupakan upaya pemerintah daerah untuk terus melestarikan dan menghidupkan kembali nilai-nilai Minangkabau kepada generasi penerus bangsa.

Anak didik dari tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah (SMP) se-Kota Padang kembali diajarkan tentang keminangkabauan. Setiap Selasa, peserta didik akan dibekali pengetahuan tentang Minangkabau oleh guru-guru yang sebelumnya telah dilatih.

Dalam implementasinya, para guru juga akan dipantau langsung oleh para tokoh adat (niniak mamak). Melalui kegiatan tersebut, Pemerintah Kota Padang berharap generasi muda kembali mengenali nilai-nilai yang selama ini dijadikan pedoman masyarakat Minangkabau.

Menurut catatan, pelajaran BAM tidak lagi diajarkan kepada anak didik sejak 2013. Hal itu disebabkan adanya perubahan nomenklatur pada kurikulum yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Di satu sisi, Hendri menyadari gerakan menghidupkan kembali mata pelajaran Keminangkabauan bukan perkara yang mudah. Namun, ia optimistis tujuan mulia tersebut bisa terealisasi dengan baik seperti halnya ketika mencanangkan program wajib hafal satu juz Al- Qur'an pada 2022 bagi peserta didik di Kota Padang.

Setiap individu harus bangga dengan kebudayaannya termasuk masyarakat Minangkabau. Pelestarian tentang kebudayaan sejatinya tidak hanya digaungkan di Ranah Minang, namun beberapa provinsi di Tanah Jawa sudah lebih dulu melakukannya.

Pertahanan kebudayaan

Diluncurkannya muatan lokal atau mata pelajaran tentang Keminangkabauan tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah daerah dalam mengantisipasi dan membentengi generasi penerus bangsa dari bahaya dan ancaman kemajuan teknologi dan informasi.

Kemajuan teknologi dan informasi tidak hanya memberikan kemudahan bagi anak didik, namun juga bisa berdampak buruk apabila tidak bisa menyaring informasi yang didapatkan melalui gawai. Salah satu dampak buruk itu ialah kecanduan game online, konten dewasa yang berbau pornografi, kurangnya interaksi sosial dengan lingkungan maupun orang tua hingga maraknya berita bohong (hoaks).

Wali Kota Padang Hendri Septa saat pencanangan mata pelajaran Keminangkabauan di Balaikota Padang, Selasa, (19/9/2023). ANTARA/Muhammad Zulfikar.

Pengenalan mata pelajaran tentang Keminangkabauan tersebut juga bagian dari amanah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang intinya menyebutkan kurikulum disusun sesuai jenjang pendidikan dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Lebih lanjut, Pasal 36 menyatakan kurikulum yang disusun harus memperhatikan beberapa hal di antaranya keragaman potensi daerah dan lingkungan. Kemudian pada Pasal 37 huruf i menyebutkan kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat salah satu muatan lokal.

Sebagai salah satu benteng pertahanan kebudayaan, Hendri menegaskan hal itu sejalan dengan pepatah Minangkabau yakni "Tagak rumah karano sandi, sandi rusak rumah binaso. Tagak bangso karano budi, budi rusak bangso binaso".

Jika diartikan dalam Bahasa Indonesia, pepatah Minang tersebut yakni "Berdiri rumah karena sendi, sendi rusak rumah hancur. Berdiri bangsa karena budi, budi rusak bangsa hancur".

Rujukan budaya

Sebagai masyarakat yang memedomani falsafah "Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah", orang Minangkabau memercayai segala norma kehidupan harus merujuk pada tuntunan agama Islam. Garis ketentuan itulah yang selama ini terus dipedomani masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, meskipun pada faktanya masih terdapat kealpaan dalam implementasinya.

Akademikus sekaligus tokoh adat Minangkabau (Bundo Kanduang) Sumbar Prof. Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib mengatakan tidak ada satu pun suku bangsa di dunia yang tidak memiliki rujukan budaya. Khusus di Tanah Minang, "Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" menjadi rujukan utama masyarakat.

"Falsafah Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah ini bertujuan membentuk dan membangun jati diri kita terutama bagi generasi muda," kata ahli waris Kerajaan Pagaruyuang tersebut.

Rujukan tersebut akan menuntun setiap orang dalam belajar, bertutur kata, berpakaian, menyantap hidangan, dan lain sebagainya berdasarkan falsafah tersebut.

Menurut Bundo Kanduang Sumbar tersebut, pelajaran Keminangkabauan memiliki makna yang mendalam bagi anak didik, khususnya Suku Minangkabau. Sebab, melalui pendidikan itulah mereka diajarkan bagaimana semestinya orang Minangkabau hidup dengan patokan yang telah ditentukan nenek moyang.

Generasi muda, ujarnya, harus memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai Minangkabau sehingga mereka bisa membangun karakter yang mulia dan bermartabat.

Tidak hanya bagi anak didik dari suku Minangkabau, mata pelajaran Keminangkabauan sejatinya juga menjadi sebuah pelajaran penting tentang keberagaman di Tanah Air. Sebab, sebagai bangsa yang terdiri atas beragam suku bangsa, anak bangsa juga perlu mempelajari dan menghargai kebudayaan yang ada.

Jadi, menurut dia, hal ini juga menjadi ajang bagi anak-anak untuk memahami bahwa NKRI ini mempunyai banyak nilai kearifan lokal.

Dengan kata lain, pendidikan tersebut secara tidak langsung akan memupuk rasa toleransi dan persaudaraan di tengah kemajemukan yang ada di Tanah Air terutama di Ranah Minang.

Sastrawati sekaligus budayawati Indonesia itu mengingatkan, memberikan contoh konkret dalam mata pelajaran Keminangkabauan merupakan hal mutlak yang wajib dilakukan apabila ingin menghidupkan atau melestarikan nilai-nilai kearifan lokal.

Senada dengan itu, Ketua Umum Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar Fauzi Bahar Datuak Nan Sati mengatakan seharusnya gerakan yang dilakukan Pemerintah Kota Padang juga diikuti dan dicontoh 18 kabupaten dan kota yang ada di provinsi itu.

Apabila semua daerah di Sumbar melakukan hal yang sama, maka berbagai masalah sosial seperti tawuran, penyalahgunaan narkotika, seks bebas, LGBT, dan perilaku buruk lainnya bisa diatasi. Sebab, melalui mata pelajaran Keminangkabauan, kebiasaan anak didik bermain gawai bisa dialihkan lewat pendidikan berbasis kebudayaan.

Dalam waktu dekat, eks Wali Kota Padang tersebut mencoba berkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk melestarikan berbagai budaya Minangkabau salah satunya pencak silat. Tidak hanya itu, Fauzi juga bertekad agar para ninik mamak masuk ke sekolah-sekolah untuk memberikan pendidikan tentang Minangkabau.

Terakhir, lewat pendidikan keminangkabauan, nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini dijadikan pegangan hidup oleh masyarakat Minangkabau dapat terus dilestarikan.

Jadi, pesatnya arus informasi dan budaya asing bukan menjadi alasan lunturnya kebudayaan daerah.

 

Related Posts

Hak Cipta © 2024 Manuvercorp. Semua Hak Dilindungi Undang-Undang.